Harmoni
Baru saat ini saya punya kesempatan untuk menulis lagi, ditengah kesibukan kuliah (Puji Tuhan, lancar) dan kesulitan media karena musibah yang menimpa alias hape saya hilang, tapi syukurlah sekarang sudah diberi kesempatan lagi untuk menuangkan apa yang ingin saya tuangkan.
Bayangannya beberapa bulan terakhir begitu menghantui saya. Beberapa bulan lalu, saya lupa tepatnya tanggal berapa, seingat saya bulan Oktober, saya menangis meraung-raung di kamar kos saya, sendirian.
Tidak pernah saya sangka bahwa kepergian saya ke Jogja juga menjadi pertemuan terakhir saya dengan beliau.
Di suatu siang yang sangat terik, saya ingat betul saat itu saya sedang di Kampus Hukum, saya dikirimi pesan singkat dari ibu saya. Ibu saya hanya bilang "Vi, minta doa untuk Pak Bambang, masuk rumah sakit". Saya tak begitu kaget, saya hanya menghela nafas lalu mengeluh pada sahabat saya, Amy. Lalu saya ceritakan apa yang terjadi dan saya membalas pesan ibu saya.
Satu hal yang terlintas di pikiran saat itu hanyalah "oh mungkin dia kecapekan". Lalu saya pulang dan setiap malam berusaha menyelipkan namanya dalam doa sebelum tidur.
Tapi tak berapa lama, saya mendapatkan foto yang dikirim di grup misdinar, foto beliau dalam keadaan tidak sadar dan sudah menggunakan alat bantu pernapasan. Hati saya mencelos. Saya terdiam beberapa saat sambil memperbesar foto dan terus bertanya apa ini benar beliau. Teman-teman saya di grup terus meminta doa. Ketakutan mulai menyergap saya, semakin banyak dan keras saya berdoa untuk kesembuhannya.
Hari itu adalah hari kamis. Saya ingat sekali, saya sedang mempersiapkan barang2 karena pada keesokan harinya saya akan pergi kegiatan kampus selama 3 hari. Sambil membereskan pakaian, saya iseng membuka grup line yang sedari tadi ternyata ramai, sebelum membuka grup, saya membuka timeline, entahlah, saya memperhatikan banyak teman gereja yang mengganti display picture dengan background hitam. Saya lalu membuka grup dan diam terpaku beberapa menit saat melihat pesan dari teman saya bahwa beliau sudah meninggal.
Saya mengirim pesan pribadi kepada teman saya yang mengabarkan hal ini untuk memastikan apakah benar. Saya menunggu jawabannya sambil berharap bahwa ini adalah berita hoax. Ternyata harapan saya runtuh, berita itu memang benar. Tak lantas percaya, saya menelpon ibu, dan menanyakannya. Sudah sambil meneteskan air mata saya bertanya apakah berita itu benar adanya. Ibu saya malah kaget karena dia bahkan belum tahu, ibu saya yang mendengar saya menangis hanya bisa menenangkan saya via telepon.
Setelah menutup telepon, saya menangis. Menangis sejadi-jadinya. Bertanya pada Tuhan mengapa saya tidak diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya untuk yang terakhir kali. Bahkan saya sudah merencanakan untuk pulang ke Bekasi, untuk menjenguknya. Dan Tuhan membiarkan saya melepaskan beliau pergi tanpa saya mengucap kata perpisahan.
Semalaman saya menangis.
Menyesali segala hal yang belum sempat saya berikan untuk beliau.
Beliau bukan orang yang memiliki hubungan darah dengan saya. Saya bukanlah anak atau cucu atau keponakan atau siapapun beliau. Tapi saya adalah salah satu orang paling beruntung yang pernah mengenal sosoknya.
Saya mengenalnya, entah sudah berapa lama. Beliau selalu punya panggilan kecil untuk saya, dia suka memanggil saya "tasbih" dengan aksen jawanya, hanya karena nama saya adalah Rosario.
Beliau orang pertama yang membuat saya berani tampil di depan umum, bernyanyi mazmur di gereja, bahkan beliau yang selalu mendorong saya untuk menjadi organis dan dirigen di gereja. Dulu, saat saya masih SMP, hampir setiap Sabtu, saya diajak untuk bertugas misdinar misa perkawinan, lalu saya diberi angpao untuk jajan. Bayangkan, untuk anak sekecil saya waktu itu, siapa yang tidak senang diberi uang jajan untuk sekedar beli batagor dan es susu fanta di depan gereja.
Beliau yang selalu melihat saya pergi ke gereja bersama teman laki-laki, dari sejak mantan yang ini, yang itu, sampai pacar saya yang sekarang. Dan beliau hanya akan tertawa dari kejauhan. Terbesit di pikiran saya, tentang mimpi, ketika saya menikah, beliau harus jadi tamu istimewa, bahkan beliau yang harus menjadi saksi pernikahan saya dengan calon suami di masa depan.
Hampir setiap minggu, saya mendapat sms permintaan tolong untuk bertugas mazmur, kadang malah harus double job menjadi misdinar. Bagi saya, itu seperti sarapan, wajib hukumnya untuk pelayanan, bersama beliau.
Beliau sudah tahu apa yang saya suka, di nada mana saya mampu bernyanyi, lagu apa yang saya bisa nyanyikan, dan beliau selalu tahu kapan harus menelpon ketika misa sebentar lagi dimulai dan saya belum muncul di halaman gereja, saat itulah saya akan muncul dengan mesam-mesem lalu berlari segera menuju sakristri untuk berganti baju. Tak perlu latihan pun, beliau sudah tahu harus bagaimana mengiringi saya dengan permainan organnya.
Sosoknya yang hampir selama bertahun-tahun saya bisa jumpai di pos satpam gereja sambil duduk-duduk minum kopi dan bermain catur. Suara renyahnya terkadang menawarkan tumpangan ke rumah atau sekedar teh botol untuk diminum.
Segala yang pernah beliau lakukan untuk saya, sekejap muncul perlahan-lahan malam itu, bersama begitu banyak air mata yang tumpah.
Belum sempat.
Saya belum sempat bilang terimakasih, untuk segalanya. Untuk sosok ayah, kakek, sahabat, teman, musuh, guru, yang telah saya rasakan selama beberapa tahun ini.
Untuk kebersamaan, persahabatan, tawa, celotehan, gurauan, bahwa setiap waktu ternyata begitu saya rindukan ketika sosoknya sudah tidak ada.
Bahkan saya selalu ingat kejadian lucu setiap misa, handphone beliau suka berdering, dan buru-buru menyuruh saya mematikan handphonenya. Dan semakin lama sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengingatkan beliau untuk mematikan handphone sebelum misa dimulai.
Malam ini saya menangis lagi, merindu.
Ingin mendengar suaranya bernyanyi lagu "Ada pelangi, di senyummu, yang membuat lidahku, gugup tak bergerak. Ada pelangi, di bola matamu, yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu." Sebait lagu jadul yang selalu mengingatkan saya akan beliau. Akan sosoknya yang sederhana, yang lucu, yang riang, tak ada sedikitpun kelelahan dalam dirinya. Ketika harus melayani, melayani umat, melayani imam, melayani masyarakat.
Selalu ada tempat di hati dan hidup saya untuk beliau. Sungguh saya rindu, bernyanyi bersamanya, bercanda, dan rindu ditraktir teh botol atau batagor. Saya rindu ramainya gereja dengan kehadirannya, koster serba bisa.
Saya tidak kaget ketika melihat foto misa requiem beliau yang dipadati umat, karena saya percaya begitu banyak orang yang kehilangan beliau, tidak hanya saya. Begitu pula banyak doa yang terkirim untuknya.
Saya bertanya kepada sahabat saya, "kenapa ya orang baik itu meninggalnya cepet banget?" Lalu ia menjawab, "soalnya, orang yang baik di dunia udah membangun rumahnya di surga sana, dibangun pakai kebaikan-kebaikannya dan rumahnya udah siap dihuni, makanya orang-orang baik pergi duluan kesana."
Mungkin yang dikatakan sahabat saya hanya gurauan. Tapi saya percaya, beliau sudah tinggal di rumah yang beliaun bangun di dunia ini dengan kebaikan-kebaikannya. Saya percaya, beliau sedang melihat saya sekarang dan tertawa.
Saya akan terus melayani, untuk Tuhan.
Semoga disana, beliau masih bisa mendengar suara saya bermazmur.
Selamat jalan, Pak FX. Bambang Sumasto.
Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni
Comments
Post a Comment