Se(tengah) Potong Cerita di Tanah Kalimantan

Di tengah kesuntukan bekerja akhir-akhir ini, saya iseng-iseng membuka folder foto di laptop dan memutuskan ingin menulis kisah yang saya alami di tahun 2018, sekalian bernostalgia. Di akhir tahun 2018, saya mengikuti kegiatan KKN di Ketapang, Kalimantan Barat. Sebagai salah satu mata kuliah wajib di semester akhir, saya memiliki beberapa pilihan lokasi untuk mengikuti kegiatan KKN, ada yang di Jawa, Sintang, Ketapang, dan juga Mentawai. Singkat cerita, setelah melalui proses seleksi, saya pun terpilih untuk KKN di Ketapang, Kalimantan Barat, lebih tepatnya di sebuah desa yang bernama Marau. Karena KKN di kampus saya bekerja sama dengan Keuskupan Ketapang, maka hidup kami selama kurang lebih satu bulan difasilitasi oleh gereja. Kami disebar di kurang lebih 5 region dan saya akan tinggal di salah satu paroki di region selatan yaitu di Paroki Kanak-kanak Yesus, Marau. 

Saya tentu tidak sendiri, saya berangkat dengan ratusan mahasiswa (lupa persisnya berapa) dan saya hidup berdelapan dengan teman sekelompok saya yang sudah pasti lintas jurusan. Ada Mas Christo (teman satu fakultas, tapi dia anak Arsitektur), Arin dan Dinda (berdua dari Ilmu Komunikasi), Mas Abi, Mbak Ola, Chandra dan Mas Deo dari FE. Selama satu bulan di Marau, saya tinggal di rumah Mamak dan Bang Rio, rumahnya masih satu komplek dengan gereja Marau. Ini jadi pengalaman pertama saya ke luar pulau Jawa, bukan buat liburan tujuannya, tapi tetap sih icip-icip liburan juga pada akhirnya. 


Marau 73 Squad (Chandra-Mas Deo-Mas Christo-Mas Abi-Arin-Vianey-Mbak Ola-Dinda)


Region Selatan

Setelah persiapan yang cukup panjang (lupa, sekitar 3-4 bulan), akhirnya kami berangkat. Jangan dibayangkan kami naik pesawat nyaman dan cepat, kami semua harus berangkat dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang menuju Pelabuhan Ketapang, jelas naik kapal laut. Saya dan teman-teman sudah menyiapkan survival kit untuk berlayar kurang lebih 2 hari 1 malam, tapi tetap saja kami, si amatiran dan mahasiwa-mahasiswa manja ini orak-arik di terpa mabuk laut. Seru! Walaupun kerjaan kami di kapal hanya tidur-karaoke-makan pop mie-repeat, atau juga ditambah aktivitas-aktivitas lain seperti berulang kali mengecek siapatau ada sinyal yang nyangkut, melihat laut lepas sambil menunggu ada lumba-lumba yang menunjukkan atraksinya, hingga aktivitas rutin muntah-muntah, tapi rasanya kalau disuruh ngulang lagi, saya kayaknya gamau hahaha. Kalau ada pepatah yang bilang : "kalau sama teman-teman capeknya gak berasa kok", kayaknya itu enggak berlaku buat kami-kami ini yang rasanya mau cepat-cepat sampai tujuan aja. Ini beberapa dokumentasi yang masih tersimpan:


Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang


Sepanjang mata memandang hanya air 


Keriuhan di dalam kapal, karaoke till die

Sampai di Ketapang saya segera bertemu Romo Koko. Romo satu ini idolanya. Romo gondrong paling gaul satu Ketapang, kesayangan semua anak KKN yang kerjaannya tiap hari minta tolong saya buat dibuatin indomie. Ternyata perjalanan ke Marau masih panjang saudara-saudara. Kami harus menempuh perjalanan darat kurang lebih 5 jam dari pusat keuskupan di Payak Kumang ke Marau (mungkin ya, saya lupa persisnya, pokoknya lama) dan melewati lembah, bukit, perkebunan sawit tiada akhir, dan jalan-jalan seru lainnya. Termasuk ketemu aneka ragam flora fauna yang aneh bin ajaib. Sebelumnya saat masih di Yogyakarta, kami sudah sempat bertemu Romo Koko. Saat perjalanan ke Marau, kami dibagi ke dua mobil, kebetulan saya naik mobil yang dikemudikan oleh Romo Koko. Mobil satunya sempat mengalami pecah ban di tengah jalan, untung karena supirnya adalah warga asli sana, teman-teman saya tetap bisa melanjutkan perjalanan ke Marau. 


Ini mobil yang saya tumpangi selama perjalanan darat ke Marau 


Foto di jembatan apa lupa namanya

Hal pertama yang terlintas di pikiran saya saat sampai di Marau adalah "wah ada ya ternyata daerah ini di Indonesia". Indonesia luas banget! Sepanjang jalan saya seperti merasa amazed dan gak berhenti ngebatin wow keren, semua ini gak pernah saya temukan di Jakarta atau Yogyakarta. Kalau di kampung-kampung di Pulau Jawa, mungkin kita akan menjumpai ayam-ayam berkeliaran. Lain disana, yang saya lihat dan jumpai rata-rata adalah babi, anjing, hingga sapi. Hewan-hewan ternak itu sepertinya tidak peduli pada kehadiran kami-kami warga kota norak baru pertama kali blusukan ke daerah mereka. Tapi serius, babi bagaikan ayam di sana! Satu rumah bisa punya lebih dari 3 babi, belum lagi yang beranak pinak. Kata Romo, jika babi atau hewan ternak lain itu masuk ke wilayah pekarangan tetangga, hewan itu bisa di hak milik! Siang masih lari-lari di teras, malam bisa-bisa sudah terhidang di meja makan tetangga. 

Ini Gereja Marau, jangan dibayangkan gerejanya semegah gereja-gereja di kota. Gereja Marau sangat sederhana, tapi selalu ramai setiap misa. Sekarang gerejanya sudah di renovasi, jadi lebih ciamik!

Saya tidak akan cerita detail hari-hari selama di Marau dan sekitarnya, yang jelas bukan hanya akan sangat panjang, tapi lebih karena banyak lupanya. Heheheh. Hari-hari awal, saya ingat sekali itu awal bulan Juli. Kami dikirim ke sebuah desa yang lebih terpencil lagi untuk mengikuti retret dengan OMK di sana. Retret di bulan Juli? Kami hanya iya-iya saja saat itu, kadung excited, walau setelah itu isinya menggerutu setengah mati karena desa itu benar-benar terpencil, tidak ada sinyal, dan listrik akan mati setiap jam 6 sore. Saya ingat sekali perjuangan kami setiap kali ingin mencari sinyal, kami harus naik ke atas bukit dekat Gua Maria, sinyalnya pun hanya ada di sekitar patung Bunda Maria. Benar-benar sebuah motivasi untuk lebih dekat dengan Bunda Maria dengan maksud lain biar dapat sinyal. 

Tapi lebih dari itu, 3-4 hari yang kami lewati di sana adalah satu dari hari-hari terbaik kami selama di Marau. Acara ini benar-benar jadi ajang anak-anak OMK desa pedalaman untuk berkumpul. Untuk saya pribadi yang sudah berpuluh-puluh kali ikut latihan dasar, rekoleksi, retret, dan kegiatan-kegiatan kumpul-kumpul anak muda lainnya, ternyata itu semua tidak seberapa dibandingkan saat saya ikut retret di desa ini. Dengan segala keterbatasan yang ada, saya merasakan bagaimana momen ini benar-benar menampar saya jutaan kali untuk lebih bersyukur akan hidup. Mereka begitu ingin didengarkan, tapi mereka juga begitu keras mendengarkan. Mereka begitu haus untuk tahu apa yang ada di luar dunia mereka, tapi mereka juga begitu banyak punya dunia yang kami tak pernah kenal. Ada satu momen yang saya tidak akan pernah lupa. Seperti layaknya acara-acara retret pada umumnya, di ujung hari, biasanya akan ada doa bersama dengan renungan yang mengajak seluruh peserta untuk memejamkan mata. Hening, hening sekali. Karena tempat kami berkumpul pun jauh dari riuh rumah warga, pencahayaan malam itu pun juga sudah sangat terbatas karena listrik sudah mulai dipadamkan. Renungan malam itu sangat sederhana, tidak bertele-tele. Tapi di tengah heningnya malam itu, di saat semua orang memejamkan mata, tiba-tiba mulai terdengar isakan tangis, tidak kencang, pelan, tapi saat mendengarnya, saya sadar bahwa tidak hanya satu orang yang menangis. Saya mulai bingung dan agak sedikit skeptis dengan apa yang saya dengar. Karena begitu penasaran, saya mencoba membuka mata. Dan pemandangan yang saya lihat setelahnya benar-benar mengagetkan, setidaknya untuk saya. Hampir semua yang ada di ruangan itu, kecuali teman-teman saya tentunya, menangis, tanpa membuka matanya. Renungannya sederhana sekali. Saya yang biasanya cengeng, yang langsung menitikkan air mata ketika ada hal-hal sensitif yang menyentuh perasaan, saya merasa renungan malam itu biasa-biasa saja. Tapi mereka, mereka begitu besar menyerap energi dan emosi yang dibangun dalam renungan malam itu, hingga mereka begitu gamblang dan tidak malu untuk meluapkannya dalam tangisan. Saya yang awalnya merasa bingung, akhirnya baru menyadari sesuatu. Bahwa mereka, anak-anak desa pedalaman ini, begitu jujur dan berani untuk merasakan semua emosi yang ada. Bahwa mereka merasa, hingga ke hal-hal yang kecil, yang mungkin tak pernah berani kami rasakan karena kami terlalu sibuk dengan dunia kami yang ramai. Mereka yang bisa haha hihi tertawa sana sini di siang hari, ternyata malam harinya bisa begitu hening, amat hening hingga hanya air mata yang berbicara. 

Tak berhenti di sana. Buat saya, pengalaman pertama sampai di pulau orang dan langsung di kirim ke desa yang sangat terpencil benar-benar membuka jalan petualangan selanjutnya yang lebih gila. Kami dipaksa untuk beradaptasi secepat kilat. Termasuk disuruh terbiasa makan babi dan duren setiap hari! 


Babi dan makanan olahan durian (tempoyak) setiap saat, makan pagi, siang, malam, cemilan juga boleh


Cheers!

Beruntung bagi kami karena kehadiran kami di sana adalah saat musim durian. Selama 20 tahun hidup, saya adalah satu-satunya orang dalam keluarga yang anti dengan buah durian. Benci sekali. Mau satu rumah heboh makan durian, saya sih tetap melipir makan yang lain. Tapi ternyata, durian di Kalimantan yang akhirnya memaksa saya mencintai buah ini. Aneh memang. Saya harus jauh-jauh ke pulau orang untuk akhirnya berani dan ketagihan makan durian. Makanan-makanan olahan dari durian ternyata juga berhasil bikin berat badan saya sepulang KKN naik lebih dari 5 kilogram. Ada tempoyak. Aneh awalnya waktu makan ini, karena ini adalah buah durian yang difermentasi, dibiarkan cukup lama dalam suatu wadah, lalu setelah itu bisa di makan langsung atau di masak dengan lauk lain. Kenapa olahan durian ini bisa-bisanya dijadikan lauk dan di makan dengan nasi. Aneh banget?? Tapi, dua piring pun nyatanya tetap habis. Lalu ada lempok. Ini sih kayak dodol rasa durian. 

Tidak hanya makan, ternyata memanen durian juga punya cara yang berbeda di sini. Setiap sore, kami akan pergi ke kebun (sepertinya lebih tepat disebut hutan) untuk menunggu durian jatuh. Iya, menunggu. Macam nunggu jodoh. Nama kegiatannya adalah nyandau. Jadi untuk mendapatkan durian dengan rasa yang mantap, orang-orang sini tidak memetik dari pohon, tapi ya menunggu saja sampai buah itu matang dan jatuh sendiri. Dan mungkin itulah alasan kenapa akhirnya saya suka durian, karena rasanya enak sekali bro! 

Tapi mungkin memang orang-orang sini punya begitu banyak waktu luang sehingga sangat menikmati kegiatan nyandau di sore hari. Mamak kami (induk semang, mamanya Bang Rio) bahkan selalu bersemangat ke kebun dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya di rumah agar bisa segera nyandau. Saya juga sempat beberapa kali nyandau. Asli, awalnya bosen banget ditambah karena itu adalah kebon yang lebih mirip hutan, akhirnya di menit-menit awal disana kami hanya dinyamukin. Tapi ketika ada tanda-tanda durian akan jatuh, kami macam bajing loncat berkejaran mengejar si durian jatuh (padahal ya nanti juga di makan bersama). Senangnya tuh beda! Euforia dapat durian jatuh akan lebih besar daripada hanya beli durian yang ada di toko. 

Nyandau se-RT 

Hasil buruan

Hal lain yang saya rasakan dan saya nikmati setiap hari adalah kebebasan dan kemudahan untuk minum minuman jahat tapi enak. The one and only arak (+ tuak deng). Saya suka-suka aja minum minuman ini, ya walau tidak yang sampai addicted. Tapi disini, sepertinya hampir setiap malam, setiap perjamuan, setiap kumpul-kumpul, berujung pada urusan putar-putar gelas dengan air bening tapi rasanya jelas tidak hambar. Saya termasuk wanita dalam kelompok yang paling bertahan dan kuat haha hihi beberapa putaran, dan kalau sudah mabuk, saya paling hanya tidur. Tapi momen-momen minum arak dan tuak ini benar-benar tidak bisa saya lupakan. Pertama, jenis minuman arak disini tuh aneh banget! Ada arak yang direndam dengan janin hewan-hewan aneh, ada rendaman bayi kijang, trenggiling, dan makin aneh-aneh hewannya tuh makin nikmat (dan tentu saja makin memabukkan). Saya ingat pertama kali kami minum rame-rame dengan ADPL (asisten yang membimbing kami selama KKN), berakhir dengan mabuk masal yang absurd banget. Ada yang tergelepar di lantai sambil ketawa-ketawa, ada yang marah-marah ngelantur gak jelas, ada yang pasrah aja mukanya di gambar-gambarin pake spidol sama kita-kita yang masih sadar, sampai ada yang merasa menyesal dan mohon ampun sama mamanya karena minum arak (padahal jelas mamanya di rumah, gak ada disini!). Walau ya ujungnya ada juga yang hoek hoek dan Dinda sebagai satu-satunya wanita solehah dan paling sadar di rumah yang berkorban bersih-bersih dan membantu sobat-sobatnya yang kurangajar ini. Ada juga pengalaman mencoba tuak yang masih beberapa hari disimpan dan rasanya masih manis. Enak dan jelas tidak ada efek apa-apa. 

Membahas tuak dan arak jadi ingat beberapa waktu yang lalu ada wacana bahwa minuman beralkohol akan dilarang di Indonesia. Saya heran sih. Memang benar efek-efek negatif dari minum beralkohol itu selalu ada. Tapi ternyata minuman fermentasi yang akhirnya beralkohol ini semata-mata juga menjadi bagian dari budaya Indonesia. Beberapa kali, selama KKN, kami mengikuti kegiatan adat. Tuak dan arak tidak pernah absen dalam acara adat itu. Ketika kami mengikuti salah satu upacara pemberian gelar untuk Romo kami, entah berapa banyak tuak dan arak yang disediakan, dan kami harus meminumnya, untuk menghormati sang empunya acara. Kami menari seharian, kami melebur bersama masyarakat disana. Kalau pemerintah ingin menghapus minuman beralkohol. lalu minuman-minuman asli Indonesia ini juga mau dihilangkan begitu saja? Saya rasa, jalan menuju ke sana tidak akan mudah. 

Tak hanya budaya, alam di sana juga tentu sangat berbeda. Kami pernah ketika sedang dalam perjalanan kembali dari sebuah paroki (atau darimana saya agak lupa), hari sudah sangat larut dan kami motoran melewati hutan sawit yang sangat gelap. Oiya, selama disana kami dibekali 4 motor yang dipinjami oleh umat disana. Jadi biasanya kalau kami touring, kira-kira beginilah formasinya : Romo Koko sendirian dengan motor kerennya, saya sama Mas Christo naik motor Revo, Arin sama Mas Abi juga naik Revo, Dinda sama Mas Deo naik CBR (kayaknya ya, lupa nama motornya, pokoknya motor kopling gitu), terus seharusnya Mbak Ola sama Chandra naik motor bebek yang sudah tidak ada merknya, tapi seringnya Mbak Ola akan boncengan sama Bang Rio (nanti ada cerita khusus tentang ini hehehehe). Nah lanjut nih sama pengalaman kami suatu hari di tengah hutan sawit. Saya gak bisa bohong kalau di Kalimantan tuh langitnya bagus banget. Malam itu, di tengah hutan sawit, kami berhenti di satu persimpangan dan kami menikmati malam penuh bintang. Langit malam itu cerah sekali dan tentu saja bintangnya sangat banyak. Kami mengobrol, bercanda-canda, menikmati sejenak keheningan malam itu (karena memang hanya kami di tengah hutan), melepas sedikit lelah karena perjalanan panjang, sekaligus memotret momen yang keren ini. Ya walaupun waktu itu kamera Arin dan Dinda mungkin belum secanggih kamera-kamera sekarang, tapi ya cukup lah untuk mendokumentasikan momen langka sekaligus update di feed Instagram





Keren, bukan? Ini foto asli ya, gak ada editan sama sekali. Asli di Jawa saya gak pernah ketemu langit secantik ini!

Tidak hanya langitnya, kekayaan alam lainnya juga luar biasa. Saya sempat blusukan ke dalam hutan untuk melihat air terjun yang duh keren pol. Dan hutannya juga benar-benar luar biasa, kami harus melewati beberapa jembatan kayu, benar-benar kayu potongan (bukan kayu yang disusun menjadi jembatan), bahkan untuk sampai ke air terjun kami harus berjalan kaki dulu selama setengah jam karena tidak bisa dijangkau dengan motor. Walaupun capek tapi semua terbayar dengan pemandangan air terjun yang luar biasa. Saya ingat sekali perjalanan kami ke air terjun itu dilakukan di hari ulangtahun saya ke-21. Jadi one of my best present! Karena terlalu menikmati momen dan malas pegang-pegang hp yang jelas tidak akan dapat sinyal, sayang sekali saya tidak punya dokumentasi ketika kami main ke air terjun itu. 


Setelah ngubek-ngubek foto, ternyata ada foto ini, saya ambil dari kamera Go-Pro Arin. Ini jembatan kayu yang saya bilang, butuh skill dan keseimbangan yang cukup untuk dapat melewati jembatan ini

Momen lain adalah tentu saja pengalaman kami touring ke beberapa paroki lain. Tapi sepertinya akan saya ceritakan terpisah karena pasti akan panjang hehe. Diakhiri dulu post yang ini ya. Karena ceritanya belum lengkap, yang tadinya judul post ini adalah Sepotong Cerita di Tanah Kalimantan, saya koreksi jadi setengah dulu ya, karena akan disambung di post selanjutnya. Yeai!






Comments

Popular Posts