My First Surgery Experience

Judulnya agak berat ya, berasa kayak saya ini dokter, padahal jelas bukan hehehe 

Tahun ini memang jadi tahun yang lumayan menarik buat saya, salah satunya karena saya mengalami pengalaman pertama di operasi. Setelah 23 tahun paling parah di rawat di rumah sakit karena demam berdarah, akhirnya saya harus di rawat di rumah sakit karena sakit yang 'lumayan' hehehe. Jadi, akhir tahun lalu saya sempat mengalami kecelakaan tunggal alias jatuh sendiri dari motor karena terpeleset yang menyebabkan lutut saya bermasalah. Satu dua hari setelah jatuh, saya tidak bisa jalan dan ada bengkak di lutut serta pergelangan kaki kanan. Tapi setelah saya istirahat, saya bisa berjalan normal lagi. Tapi lama kelamaan lutut saya selalu nyeri setiap kali terlalu lama berjalan atau saat berlutut. 

Di akhir tahun 2020 itu saya belum berniat untuk ke dokter karena merasa sakitnya masih bisa ditoleransi dan saya masih bisa aktivitas normal. Selain itu, saya juga belum mengurus BPJS Kesehatan saya yang masih menjadi satu dengan milik bapak (masih menjadi tanggungan bapak). Awal tahun 2021 karena saya sudah pindah kerja, akhirnya saya berniat mengurus BPJS agar bisa didaftarkan di tempat kerja saya. Namun karena waktu itu saya butuh cepat, akhirnya saya daftarkan status BPJS saya menjadi mandiri (setiap bulan setor iuran lewat transfer bank). Prosesnya cukup cepat dan semua sudah online. Bahkan ketika saya datang ke kantor BPJS, malah diusir, disuruh urus secara online saja. Pokoknya hanya chat via WA lalu nanti ikuti step-stepnya saja, bisa juga cek status aktif atau tidaknya BPJS lewat aplikasi Mobile JKN, makin canggih lah pokoknya. 

Kenapa saya memilih pakai BPJS? Ya simplenya karena sudah punya BPJS kenapa tidak dimanfaatkan. Walaupun saya tahu kalau pakai BPJS harus antri dan lain-lain, tapi wajar lah, dimana-mana juga antri. Setelah kartu BPJS saya sudah ganti status mandiri dan sudah aktif kembali, akhirnya saya minta rujukan ke dokter ortopedi dari faskes pertama BPJS. Saya langsung memilih ortopedi/tulang ya karena merasa sepertinya ada yang bermasalah entah dengan tulangnya atau otot-ototnya. Di faskes pertama saya cuma ditanyai oleh dokter umum keluhan-keluhannya apa, sempat sedikit dicek, tapi hanya pemeriksaan umum lalu saya memilih rujukan ke RS Elisabeth karena memang dekat dengan rumah dan dibuatkan surat rujukannya. 

Saya datang ke rumah sakit sesuai jadwal dokter orto, saya waktu itu memilih dr. Michael Horeb. Tidak sempat mencari tahu latar belakang beliau, hanya menyesuaikan jadwal yang saya bisa saja. Saat bertemu, ternyata pak dokternya masih muda heheheheh. Dokternya gaul abis, pas tahu saya masih muda diajak ngobrol pake gue-lu. Setelah di cek-cek, diminta untuk rontgen hari itu juga. Hasilnya sebenarnya bisa ditunggu, tapi kata dokternya minggu depan saja saat kontrol berikutnya, saya hanya diberi obat pereda nyeri kemudian pulang, tidak perlu bayar biaya dokter dan obat, hanya bayar parkir motor saja, hehe ya begitulah BPJS. Tapi memang saya harus antri 1-2 jam sebelum jadwal praktik supaya dapat antrian yang masuk akal. Waktu itu saya masih wfh jadi bisa kerjanya nyambi antri di rumah sakit. 

Setelah hasil rontgen keluar, tidak ada yang bermasalah dengan tulang, tapi memang terlihat ada yang bengkak di bagian dalam (tidak begitu terlihat ketika di rontgen). Awalnya dr. Horeb sudah menawari saya MRI agar lebih terlihat kondisi bagian dalamnya, tapi karena mesin MRI di Bekasi terbatas dan pasti banyak yang butuh, jadi akhirnya saya memilih untuk terapi terlebih dahulu. Akhirnya saya dibuatkan surat pengantar ke dokter fisioterapi untuk konsul sebelum akhirnya bisa ikut fisioterapi. Singkat cerita akhirnya saya mulai masuk ke sesi fisioterapi. Seingat saya, saya menjalani fisioterapi sebanyak 6 kali. Ada terapi dengan sinar (gatau apa namanya), pokoknya jadi agak panas, terus ada juga yang menggunakan ultrasonografi (seperti ibu hamil), terus ada yang disetrum (rasanya badan seperti dialiri listrik), sampai metode dipijat oleh fisioterapisnya (yang ini sakit banget sih). Setelah terapi ya rasa nyerinya lumayan berkurang, tapi tidak hilang sama sekali. 

Sesi fisioterapi selesai, saya kembali ke dr. Horeb. Karena memang masih terasa nyeri, akhirnya saya disarankan untuk MRI. Saya dibuatkan surat rujukan untuk MRI dan diminta untuk kembali ke dokter setelah hasil MRI jadi. Setelah segala drama surat rujukan dan antri panjang, akhirnya saya MRI di RS Hermina Bekasi pada hari keberangkatan saya Bela Negara. Selama Bela Negara sejujurnya saya ngeri-ngeri sedap mengingat kondisinya saya belum tahu secara pasti apa yang terjadi dengan lutut saya. Namun karena mau tidak mau, saya gas-gas aja melakukan segala kegiatan fisik disana walaupun ya setiap malam jadi harus pakai hot cream akibat nyeri di lutut (atau sebadan) yang tidak kunjung hilang. Sepulang dari Bela Negara, saya mengambil hasil MRI dan langsung bertanya kepada teman saya yang dokter mengenai hasilnya (karena jelas saya tidak paham bahasa-bahasa kedokteran), walaupun ya paham sedikit-sedikit karena ada narasinya. Kata Regita kemungkinan ada robekan di ligamen ACL/PCL dan meniskusnya. 

Kira-kira hasil MRI saya mengatakan ada masalah di ACL PCL dan bagian meniskus (bantalan lutut)

Setelah tahu (walaupun belum kontrol ke dr. Horeb), saya mulai mencari-cari info, baik itu tanya ke Regita (teman saya yang dokter) atau ya googling tindakan apa saja yang mungkin dilakukan apabila ada ligamen yang robek. Ternyata hal ini sudah cukup sering terjadi, khususnya sering dialami oleh atlet. Karena lutut manusia cukup kompleks, maka harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan alat yang mirip teropong (ini yang saya ingat waktu pertama kali dijelaskan Regita). Seminggu kemudian, saat jadwal kontrol ke dr. Horeb dan berdiskusi dengan hasil MRI saya, akhirnya dokter tanya "kamu mau dioperasi?". Beliau memberi penjelasan bahwa pilihan operasi bisa diambil jika memang sakitnya mengganggu dan saya membutuhkan lutut untuk aktivitas fisik yang aktif. Karena saya masih suka jalan-jalan atau lari, akhirnya saya memutuskan untuk operasi saja. dr. Horeb lalu membuatkan surat rujukan lagi karena di RS Elisabeth tidak bisa melakukan bedah lutut dan ada dokter ortopedi yang sudah sering menangani masalah lutut seperti yang saya alami. Saya dirujuk ke RS Primaya Bekasi Timur dan diminta bertemu dr. Evan. Byebye dokter gaulku hehehe

Kali ini saya sempat browsing tentang dr. Evan yang ternyata memang dokter spesialis per-lutut-an dan per-ankle-an, beliau juga praktek di rumah sakit khusus atlet (lupa apa namanya) dan punya klinik spesialis juga. Saat masuk ke RS Primaya dan naik liftnya, saya sempat melihat pamlet di dalam lift tentang biaya operasi ACL/PCL dan meniskus dengan angka yang sangat fantastis (start from 70jt an hahahahah). Waktu itu saya udah deg-deg ser aja melihat nominal yang jelas tidak kecil itu. 

Waktu bertemu dr. Evan saya cuma ngebatin buset nih dokter orto kenapa pada muda-muda banget ya hahahah. Setelah dicek (pokoknya lutut saya ditekan-tekan, diputar-putar) dan ditanyai macam-macam, beliau belum bisa langsung memutuskan ada apa dengan lutut saya. Lalu saya juga dijelaskan mengenai hasil MRI saya, kelihatan kalau ada putih-putih itu berarti kemungkinan ada robekan. Tapi ya hasil MRI belum bisa secara pasti memastikan robekannya seperti apa atau sepanjang apa. Akhirnya saya hanya diberi obat kemudian diminta kontrol lagi minggu depannya. Saat kontrol ke-2, dr. Evan mengecek lagi dan akhirnya menjelaskan bahwa kemungkinan yang robek adalah meniskusnya (bantalan antara tulang paha dan tulang kaki bagian bawah). Untuk ACL dan PCL nya aman karena saya masih bisa mengontrol pergerakan lutut dengan baik (misal untuk mengerem atau berhenti secara mendadak, tidak kehilangan keseimbangan). Dan dr. Evan menyarankan untuk dioperasi karena saya masih muda dan kemungkinan untuk pulih akan lebih baik. Tidak berlama-lama saya langsung gas aja karena untungnya semua di cover BPJS. Akhirnya saya dibuatkan rujukan ke dokter penyakit dalam, tes darah, rontgen thorax, dan persiapan-persiapan lainnya sebelum operasi. 

Puji Tuhan tidak ada yang bermasalah, hasil darah saya baik, rontgen thorax juga. Saya hanya tinggal PCR saja sehari sebelum operasi. Saya sudah dijelaskan juga tindakan apa yang akan dilakukan, saya akan menjalani prosedur yang bernama arthroscopy. Jadi nanti akan dibuat sayatan kecil (sekitar 2 cm) di lutut kemudian akan ada alat yang masuk ke lutut (seperti teropong) yang nantinya akan dihubungkan dengan monitor, sehingga dokter bedah bisa memperbaiki lutut lewat alat itu. Bekas lukanya menjadi minimal dan penyembuhan bisa lebih cepat. Dugaan dokternya meniskus saya robek, namun lokasi nya belum tahu dimana, apakah terkena pembuluh darah atau tidak, jika iya maka harus dijahit, jika tidak, bisa dibuang saja bagian yang robek itu. Katanya pemulihannya kurang lebih 6 minggu dan harus menjalani terapi setelahnya. Yaa saya iya-iya saja saat dijelaskan. Walaupun sepulang dari dr. Evan saya konsul lagi dengan Regita hehehe. Ternyata dr. Evan itu dosen Regita waktu Regita kuliah kedokteran. Dan karena Regita juga tertarik pada spesialisasi orto, makanya dia senang sekali waktu saya tanya-tanya tentang operasi lutut saya. Katanya ya ini bukan operasi yang menyeramkan, bahkan tidak perlu bius total, hanya spinal saja (dari pinggang ke bawah) dan memang jika ada masalah pada bantalan lebih baik segera di operasi karena bantalan memang akan sering digunakan, apalagi itu pertemuan dua tulang yang aktif. 

Jujur saya awalnya merasa sangat excited karena saya penonton setia dan fans garis keras series Grey's Anatomy yang isinya tentang kehidupan dokter-dokter bedah. Saya tidak setakut itu ketika ditawarkan untuk operasi, malah iya-iya pengen cepet-cepet operasi. Penasaran juga apa rasanya berada di meja bedah (aiishhh). Tapi ternyata setelah tanggal operasi deal, saya tetap saja deg-deg an sampai tidak bisa tidur. Kepikiran, makin dipikirin saya makin searching-searching tentang operasi ini, makin kepikiran nanti bakal seperti apa. Ternyata saya takut juga hehehehe 

Saat hari operasi tiba, saya sebelumnya sudah di rawat inap sambil menunggu hasil PCR (ini juga jelas deg-deg an abis). Saya di rawat di ruang isolasi yang besar sekali tapi hanya saya yang ada didalamnya. Tapi nyaman sih, berasa staycation walau sudah dimasukkan jarum infus yang bikin ribet kalau mau mandi. Bahkan beberapa hari sebelum operasi, saya main sepuasnya ke Jakarta, masih motoran dan pergi jauh-jauh karena ingat mungkin 5-6 minggu setelah operasi saya belum bisa jalan dengan normal. Pokoknya menikmati dulu! 

Jeng jeng 

Saat hari operasi, pagi-pagi saya sudah masuk ruang rawat inap. Oiya, BPJS saya kelas 1, jadi saya di rawat di ruang kelas 1. Awalnya saya browsing dan dari pengalaman bapak yang pernah operasi juga, ruang rawat inap kelas 1 biasanya berdua, tapi beruntungnya lagi, saya sendirian hueheheh. Sebelum operasi, dr. Evan pernah tanya mau upgrade kelas gak ke VIP, nanti tinggal nambah biaya selisihnya, tapi karena saya takut nanti shock dengan tagihan rumah sakit, akhirnya saya tetap di kelas 1 saja. Kamarnya seperti kamar VIP, hanya bedanya tidak ada tambahan sofa untuk keluarga menunggu, sisanya sama saja, sama-sama senyaman ruang VIP karena memang benar-benar sendiri dan tidak sharing dengan orang lain. 

Waktu gabut satu hari sebelum operasi di ruang isolasi nungu hasil PCR

Saya masuk ruang operasi jam 9an (atau 10 ya? lupa banget). Yang saya ingat cuma dingin banget itu ruangan. Tapi ruangan operasi saya memang mirip dengan yang sering saya tonton di series. Ada lampu, ada meja operasi (yang ukurannya lebih kecil dari kasur kamar rawat inap dan lebih tipis), dan alat-alat segambreng. Karena saat masuk ruang operasi saya sudah lepas kacamata, jadi sebenarnya saya gak bisa melihat dengan jelas, tapi ya masih kelihatan samar-samar. Saya tadinya berniat ingin tetap sadar (karena hanya bius spinal), kata dokter Evan saya juga bisa melihat operasinya. Tapi setelah di suntik obat bius, saya ngantuk banget hehehe. Saya masih sempat melihat dokter Evan masuk dan ngajak saya ngobrol, setelah itu saya merasa ada beban berat yang diletakkan di dada saya, bikin sesek gitu. Saya masih setengah sadar itu. Saya ingin batuk, tapi batuk saja tidak bisa, kayak ada yang nahan gitu. Akhirnya saya berusaha ngomong ke dokter anestesi kalau dada saya gak enak banget, kayak berasa ada yang neken. Terus saya gak inget apa-apa lagi, cuma lihat si dokter jalan ke samping saya terus utak-atik infus saya, setelah itu saya bener-bener hilang dalam obat bius wkwkwk

Otw ke ruang operasi

Waktu saya buka mata, tiba-tiba saya sudah keluar ruang operasi. Belum di kamar, masih di area ruang operasi sih cuma di bagian luarnya gitu. Dan rasanya aneh dan dingin banget. Saya menggigil lebay gitu, bener-bener yang sampe hhhh ga kuat banget. Akhirnya sama susternya dikasi pemanas pakai mesin (mesin nya kayak vacum cleaner besar gitu) terus ada selang yang ngeluarin udara panas diarahin ke badan saya. Lumayan deh saya enggak menggigil lagi. Terus saya tidur lagi mungkin sekitar 15 menitan. Setelah itu, saya cukup sadar waktu dibawa ke kamar rawat inap. Saya tanya ibu saya berapa lama tadi operasinya, katanya ya sekitar 1,5 jam, cepet kok. Jujur saya enggak inget apa-apa. Bener-bener obat biusnya bekerja sangat baik. Bahkan mimpi pun enggak. Beneran senyaman itu hahaha, pantesan ya katanya orang kalau di bius tuh beneran enggak ingat apa-apa. Kaki saya juga masih kebas, saya cuma lihat sudah dibalut pakai blebet (apasih bahasa Indonesianya? hahaha kebiasaan di rumah disebutnya blebet), pokoknya itu yang cokelat-cokelat.

Foto kiri waktu pertama banget keluar ruang operasi, dingin banget asli dan masih ngantuk pol karena efek obat bius. Foto kanan kondisi lutut setelah di operasi dan sudah di kamar rawat

Setelah operasi saya sering tidur karena masih agak pusing efek obat bius. Tapi saya sudah mulai bisa makan sih, enggak ada pantangan apa-apa, cuma harus yang lembut-lembut dulu. Yang paling bikin enggak nyaman buat saya setelah operasi adalah pakai kateter. Waktu dipasang kateter, saya sih gak berasa apa-apa karena sudah dalam kondisi dibius, tapi setelahnya, duh pokoknya gak nyaman. Setiap kali kepengen pipis kayak otomatis keluar lewat selang, kedengerannya enak sih gak perlu bolak-balik kamar mandi, tapi karena seumur hidup baru kali ini pipis pakai kateter, ya jelas rasanya tidak nyaman sama sekali. Tapi ya apa mau dikata saya berdiri saja belum bisa kan. 

Sisa hari saya habiskan hanya dengan tidur dan tidur, bahkan untuk buka hp atau nonton tv saja saya mager, milih tidur aja karena efek obat bius yang masih terasa. Kaki saya harus selalu dikompres dengan es batu dan lama-lama setelah kaki saya benar-benar sudah tidak kebas, mulai tuh pelan-pelan terasa nyeri, kemungkinan karena bekas jahitan. Besoknya saat dokter Evan datang, saya diceritain deh sama ditunjukkan foto saat di operasi (walaupun saya juga gak paham, kebanyakan iya-iya aja). Katanya sih robekannya sudah tertutup jaringan baru (jaringan yang tidak baik, yang bikin sakit terus), jadi akhirnya jaringan itu dibersihkan. Tapi kata dr. Evan pemulihannya akan lebih cepat dibanding yang di diagnosa di awal. Saya juga langsung disuruh berdiri dan latihan jalan. Latihan jalan nya juga masih pakai tongkat, tapi sudah boleh napak, saya juga sudah boleh pulang besokannya. Setelah pulang, saya masih harus kontrol dan lepas jahitan, kemungkinan juga harus fisioterapi. 

Sekitar 2 minggu setelah operasi dan pulang ke rumah, dimulailah hari-hari saya yang agak ribet karena kaki sulit bergerak bebas dan bekas jahitan belum boleh terkena air saat mandi. Saat kontrol pertama, saya sudah mulai bisa menekuk lutut walaupun belum penuh 90 derajat. Aman semua, tidak ada infeksi dari bekas jahitan. Saya bertanya apakah saya perlu fisioterapi, tapi kata dr. Evan tidak perlu asalkan saya mau latihan sendiri di rumah. Kontrol kedua akhirnya jahitan saya diambil. Saya yang takut pada luka dan darah cuma bisa meringis-ringis waktu jahitannya diambil. Saya sudah cukup kuat untuk berjalan tanpa bantuan tongkat, walaupun masih sangat hati-hati saat menapak. Tadinya saya pikir akan menghabiskan 5-6 minggu harus menggunakan tongkat kemana-mana, bersyukurnya 2 minggu setelah operasi saya sudah bisa lepas berjalan bebas tanpa menggunakan tongkat. Walaupun masih belum bisa bergerak bebas, apalagi belum bisa menekuk lutut seperti biasa, tapi saya senang sudah bisa berjalan-jalan dan beraktivitas biasa. 

Satu hari setelah operasi hihi

Sudah pulang, punya mainan baru hehe

Sampai hari ini (kurang lebih 8 bulan setelah operasi) saya sudah bisa beraktivitas normal. Saya sudah bisa jogging, jalan-jalan dengan jarak yang cukup jauh, naik turun tangga, hingga sudah bisa mengendarai motor dengan normal. Walaupun saat harus berjongkok dan berlutut lumayan lama masih agak sulit sih, tapi masih aman dan nyaman lah ya dibanding saat belum operasi. 

Setelah ngerasain gimana rasanya operasi dan harus rawat inap (walaupun cuma 3 hari), saya makin paham arti bahwa kesehatan itu mahal. Waktu saya jatuh dan enggak langsung cek dokter, dulu saya pikir ah nanti-nanti aja, toh sakitnya masih ketahan kok. Tapi ternyata hal itu malah yang bikin penyakit dan memperparah keadaan. Semoga ini jadi operasi pertama dan terakhir saya. Walaupun di atas saya bilang saya penasaran apa rasanya operasi, tapi jujur gak mau ngulang lagi hahaha

Masalah biaya juga menjadi salah satu faktor kenapa saya gamau lagi sakit bahkan sampai operasi. Waktu keluar dari rumah sakit, saya kaget dengan tagihan yang angkanya cukup fantastis, sampai di angka 65 juta. Kalau bukan karena BPJS, saya gatau harus bayar pake apa karena saya jelas gak punya tabungan sebanyak itu :( ini juga salah satu hal yang seharusnya jadi pertimbangan untuk setiap orang lebih baik punya asuransi kesehatan, entah itu BPJS atau asuransi pribadi. 

Sedikit cerita tentang BPJS. Saya gak nyangka keuntungan yang diperoleh ketika ikut BPJS sebanyak itu. Memang sih harus siap untuk ribet. Apalagi saya kasusnya adalah kecelakaan tunggal yang kejadiannya sudah jauh-jauh hari terjadi tapi baru berobat beberapa bulan kemudian. Saya harus dapat berita acara dari kepolisian dan surat pernyataan dari Jasa Raharja bahwa kecelakaan saya adalah kecelakaan tunggal dan tidak akan dijamin asuransinya oleh pemerintah. Setelah itu saya harus punya rujukan ke dokter spesialis dari faskes pertama. Ketika akan rontgen/MRI juga harus memiliki surat rujukan apalagi waktu itu beberapa mesin MRI di Bekasi terbatas dan beberapa bahkan rusak. Saya harus dirujuk ke RS Hermina yang pasien BPJSnya naujubile setiap hari tidak pernah sepi. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran ekstra sampai akhirnya saya bisa operasi tanpa mengeluarkan uang puluhan juta itu. Saya cuma keluar uang untuk transportasi ke rumah sakit dan biaya PCR sebelum operasi yang memang tidak ditanggung oleh BPJS. Sisanya dari mulai dokter, operasi, obat-obat, biaya rawat inap, semua gratis. 

Bicara tentang fasilitas dan pelayanan rumah sakit untuk pasien BPJS juga saya acungi jempol karena saya enggak merasakan masalah apapun, bahkan merasa sangat puas. Banyak yang bilang pasien BPJS pelayanannya tidak akan sebaik pasien dengan asuransi swasta maupun yang bayar dengan biaya pribadi. Nyatanya saya juga merasakan pelayanan yang sangat baik dari pihak rumah sakit. Konsultasi dengan dokter, bantuan dari para suster, perawat, hingga satpam di rumah sakit sangat baik. Apalagi waktu itu pandemi Covid juga masih ada, rasa was-was ketika masuk rumah sakit pun tetap ada. Tapi semua aman dan baik-baik saja.

Ingat, bahwa kesehatan itu mahal dan juga kita harus selalu berhati-hati dalam berkendara. Walaupun rasanya saya juga udah hati-hati, tapi kadang memang yang namanya musibah kita manusia juga enggak pernah tahu kapan akan terjadi. Pada akhirnya memang kita sendiri juga yang harus selalu siap sedia ketika harus mengeluarkan budget untuk masalah kesehatan atau keadaan-keadaan darurat lainnya. Tapi pengalaman operasi kali ini memang suatu pengalaman yang jadi satu momen yang enggak bisa saya lupain, selain perasaan-perasaan takut saat operasi, juga pengalaman yang bikin saya melek bahwa saya udah jadi orang gede wkwk. Momen ketika saya harus mengurus semuanya sendiri tanpa bantuan orangtua secara langsung, momen ketika harus bolak balik dari kantor polisi, kantor Jasa Raharja, puskesmas, rumah sakit satu ke rumah sakit lain sendirian, hingga momen kesel-keselan karena harus antri berjam-jam demi bisa dapet urutan yang masuk akal. Semoga bener-bener ini jadi operasi pertama dan terakhir saya ya! 

Sekian cerita pengalaman operasi saya yang tidak seberapa ini, saya seneng banget saya juga jadi punya pengetahuan baru terkait kesehatan dan kedokteran. Stay safe guys!

Comments

Popular Posts