Sedikit tentang Brown Soldier

Kembali di tiga dini hari.

Entah akhir-akhir ini jam tidur saya mulai terbalik-balik. Mungkin juga karena masih menikmati masa liburan. Sebelum menjalani rutinitas "baru bisa tidur pukul tiga dini hari karena tugas dan laporan", setidaknya saya bisa sejenak menikmati rutinitas "baru bisa tidur pukul tiga dini hari karena ngeblog dan youtube-an". Yea. Ditambah gratisan kuota tengah malam, membuat panggilan sayang dari kasur tidak saya indahkan.

Kali ini, saya ingin bercerita tentang keluarga saya. Tidak, bukan tentang orangtua atau saudara saya, tapi ini tentang "keluarga" lain. Mereka yang akhir-akhir saya rindukan. Sepertinya, kalau ingatan saya tidak salah, saya belum pernah bercerita tentang mereka. Saya sebut mereka keluarga, ya karena mereka sudah selayaknya keluarga saya.

Beberapa jam yang lalu, saya sempat sharing bersama sahabat saya, dia juga salah satu bagian keluarga itu. Kami bercerita bagaimana ternyata kami sudah lama tidak mampu menemukan kehangatan keluarga itu di tempat baru kami, di universitas kami masing-masing. Ya, mereka yang sedari tadi saya bicarakan adalah teman-teman, kakak-kakak, dan adik-adik kelas di OSIS SMA.

Saya memang begitu menyukai hal-hal mengenai organisasi. Tidak hanya tentang belajar bekerjasama, leadership, kreatifitas, namun terlebih pada relasi antar anggotanya. Dua tahun saya berada di keluarga itu. Dan kalau boleh jujur, dua tahun itu masuk dalam jajaran masa-masa terbaik dalam hidup saya.

Masa-masa itu mungkin memang menjadi masa pengembangan diri yang luar biasa. Saya sedang semangat-semangatnya ikut organisasi sana sini, ikut kegiatan ini itu. Tapi ya itu, sejauh mana pun saya mengexplore diri saya, mengenal banyak orang, tidak ada yang bisa menggantikan keluarga itu dalam proses perjalanan pengembangan diri saya.

Mengapa? Saya juga seperti tidak mengerti apa alasan sebenarnya. Yang saya tahu, saya terlanjur nyaman dengan keluarga ini. Seperti bertemu jodoh. Waktu itu saya ingat harus melalui proses yang cukup panjang untuk bisa menjadi bagian keluarga ini. Hingga akhirnya, kami berduapuluh sembilan terpilih diantara sekian banyak orang yang mendaftar, Itu jilid pertama, saat saya masih kelas 10. Sebagai orang baru, saya cukup banyak belajar. Istilahnya masa-masa itu seperti masa-masa pendekatan bagi orang yang saling suka.

Dengan proker-proker yang cukup padat, kami berusaha membagi waktu dengan tugas utama kami untuk sekolah. Dan ya, dalam masa-masa pendekatan itu, benih-benih cinta alias kekeluargaan mulai muncul. Saya ingat, ketika Latihan Dasar Kepemimpinan, saya mendapat plancas (semacam kertas pesan bisa berisi apa saja ucapan yang menyemangati, mendoakan, dll) dari seseorang yang memang baru saya kenal di keluarga ini. Saya cukup terharu karena ternyata di tahun kedua berada di tengah-tengah mereka, seseorang itu yang menjadi partner saya.

Hari-hari saya begitu menyenangkan. Mau rapat sampai sore hari, atau harus sampai sekolah pukul 4 pagi, bagi saya tidak pernah menjadi masalah besar. Bahkan saya terkadang sampai melupakan keluarga saya di rumah karena terlalu larut dalam kesibukan di sekolah. Sekedar mengobrol di ruang OSIS, bercanda, berbagi cerita, saling mengejek, saling mengajari mata pelajaran lain, bagi saya sangat berharga selama dua tahun itu.

Di tahun kedua, saya diberi kepercayaan yang lebih besar. Harus berpisah dengan kakak-kakak membuka harapan baru untuk bekerjasama dan berbagi pelajaran bersama adik-adik kelas. Meskipun berat melepas mereka yang telah satu tahun bersama, tapi itulah yang harus kami lakukan agar mereka bisa fokus di kelas 12. Tak ayal, ternyata kami harus kehilangan beberapa anggota karena satu dan lain hal, tapi kami percaya bahwa apapun alasannya, itulah alasan yang baik bagi mereka. Keluarga selalu mendukung, bukan? Toh kami masih dalam lingkup lingkungan yang sama.

Dan di kemudian hari, kami lengkap berduapuluh tujuh, dengan adik-adik baru dan semangat baru. Dan saya ditemani si seseorang pemberi plancas itu, menjadi partner berbagi pikiran dan partner berdebat, Lucu saat ingat saya suka menghabiskan waktu untuk sekedar duduk berbagi cerita sambil makan mie ayam idola di depan sekolah. Rindu.

Duapuluh tujuh muka-muka masih imut

Saya begitu menyayangi mereka, satu persatu. Dengan baik buruknya, dengan jayus dan lucunya, dengan baper dan sensitifnya, dengan semangat dan perjuangannya, dengan canda dan tawa mereka. Setiap orang yang menemani keseharian saya satu tahun terakhir dalam keluarga itu membuat saya semakin merasa nyaman. Diluar tugas primer sebagai organisasi siswa, kami begitu menikmati waktu bersama kami. Sekedar nongkrong asik di sofa pink ruang osis, sembari membersihkan atau sebaliknya memberantaki barang-barang di ruangan sampai satpam menyuruh kami pulang, atau sekedar makan bersama ramai-ramai setelah event, makan Nasi Ayam Mama Irene atau Nasi Warteg super duper murah tapi mengenyangkan. Semuanya begitu membekas.

Semua kerja keras, mencari uang, mencari sponsor, mencari guest star terbaik, mencari pengisi stand bazaar, mencari guru yang mau menjadi juri, mengedit proposal, puluhan kali keluar masuk ruangan Pak Gindo, Pak Ambros, Pak Feli untuk minta tanda tangan, mencari-cari siapa pemegang kunci ruang osis, mengingatkan puluhan kali untuk "jangan lupa mematikan ac ruang osis" tak pernah terlupakan dari benak saya. Bahkan di tiga dini hari ini sejenak membuat saya tersenyum dan menahan rindu untuk mengulangnya kembali.

Maka terlalu berlebihankah jika saya menyebut mereka keluaga? Sepertinya tidak. Tangis dan kekecewaan juga tak pernah pergi dari hari-hari kami. Ketika kami harus saling jujur, saling mengatakan ketidaksukaan kami pada seseorang dari keluarga ini, tapi itulah yang menjadikan kami semakin baik, semakin mengerti satu sama lain. Dan semua tangis itu pada akhirnya akan ditutup dengan sajian makan mie ayam idola bersama.

Sampai akhirnya waktunya pun tiba, ketika saya harus meninggalkan masa-masa bersama keluarga itu. Begitu berat, karena bahkan sampai hari ini saya tidak bisa menemukan sosok-sosok seperti mereka, yang membuat saya begitu hidup dan bergairah. Tapi sedikitpun sampai hari ini kami tak pernah saling melupakan. Saya syukuri hal itu.

Beberapa hari lalu, saat liburan di Bekasi, saya menyempatkan diri bertemu mereka. Ohya, saya ingat, hari itu adalah hari ulangtahun saya. Melihat, berkumpul, bercengkerama ternyata menjadi salah satu kado terindah bagi saya. Awalnya saya biasa saja, tapi ternyata pertemuan 2 jam itu berakhir dengan rasa rindu yang lebih banyak, ketagihan ingin bertemu lagi.

Kado 19 tahun

Saat ini, kami semua telah jauh. Masing-masing sedang bekerja keras mewujudkan mimpi dan cita-cita masing-masing. Senang dan bangga mendengar banyak kabar baik karena adik-adik diterima di berbagai perguruan tinggi sesuai cita-cita mereka. Dan lebih bangga juga akan prestasi teman-teman dan kakak-kakak kelas yang luar biasa di perguruan tinggi masing-masing.

Saya merindu mereka, dini hari ini. Tapi tidak sedikit pun tangis sedih jatuh di pipi saya, sebab saya begitu bahagia menulis tentang mereka. Mereka yang berani dan pantas saya sebut keluarga. Mungkin akan sulit bagi saya menemukan keluarga seperti mereka, tapi saya percaya bahwa saya akan menemukan lebih banyak pengalaman baru dengan orang-orang baru pula.

Semoga suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi, berkumpul lagi, duduk di sofa pink kesayangan, makan Nasi Ayam Mama Irene, dan memakai jaket cokelat kebanggaan kita lagi. Semoga jaketnya belum sampai di tukang loak ya!

Semoga sukses, Brown Soldier!

I miss you.

*Maaf foto berduapuluh sembilan tidak bisa ditampilkan, berhubung ikut lenyap bersama handphone saya yang sudah berkelana entah kemana dan belum sempat di back up, kalau nanti ketemu saya masukkan! :")

Comments

Popular Posts