Semoga Menguatkan

Tiga dini hari.

Sesak di dada perlahan menghilang. Membawa serta pilu dan kesedihan saya yang berjam-jam memuncak di ubun-ubun dan dada. Setelah berjam-jam membenamkan tubuh dalam lautan air mata, akhirnya saya sedikit banyak menghapusnya, mencoba memperbaiki, setidaknya jangan sampai hari ditutup dan dimulai dengan tangisan. Lagipula kasihan si bantal, sudah lelah dibanjiri air mata saya yang tak kunjung pergi.

Entah, beberapa hari ini, hati dan raga saya seperti tidak satu frekuensi. Raga saya begitu bersemangat, berkelana kesana kemari, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, bertemu dengan orang-orang, berusaha menyibukkan diri dengan rutinitas. Tapi hati saya, tetaplah terasa dingin.

Sudah satu tahun berlalu, semenjak saya meninggalkan mimpi saya pergi ke Bandung untuk melanjutkan kuliah. Saya, akhirnya berada di tempat ini, kota yang tak pernah saya lirik untuk jadi tempat menghabiskan 4 tahun masa kuliah saya. Tapi realitasnya, saya disini. Di kamar ini, di kampus ini, di lingkungan ini.

Tidak banyak yang berhasil saya tuangkan dalam blog ini. Berkali-kali saya mencoba untuk sekedar sharing tentang perasaan saya selama satu tahun ini, tentang kuliah dan hari-hari saya, tapi ujung-ujungnya cerita itu hanya tersimpan di draft dan tak pernah saya bagikan.

Silih berganti, malam dan pagi, saya mencoba menyusun kejadian selama satu tahun kebelakang menjadi satu rangkaian. Dan lalu, mata saya perlahan terbuka, tentang apa itu arti kekuatan.

Kegagalan itu. Hari dimana semua cita-cita saya runtuh. Hari dimana saya memilih untuk pergi ke kota ini. Membawa kemarahan, kesedihan, dan kegelisahan hati saya. Ternyata benar adanya menjadikan saya seribu kali lebih kuat dari sebelumnya.

Tuhan memang baik. Dialah guru yang paling handal soal kehidupan. Dia ajarkan saya untuk rendah hati. Serendah-rendahnya, sampai suatu hari Ia yang akan meninggikan saya. Meletakkan saya di tempat tertinggi.

Kalau ditanya, apa saya bahagia, saya akan jawab saya bahagia, mungkin ditambah sedikit tangis haru di pelupuk mata. Saya bahagia. Karena saya melewatinya. Masa-masa termenyedihkan dalam hidup, setiap hari, setiap malam menangisi nasib dan takdir.

Tapi ternyata butir-butir tangis itu yang menjadikan saya bangun lebih pagi dan tidur lebih larut. Tapi ternyata rasa sesak di dada itu yang menjadikan saya berjuang lebih keras, belajar lebih tekun, dan berdoa lebih pasrah.

Satu tahun sudah saya lalui, masa transisi, masa membangun mimpi baru, membangun masa depan baru, telah dengan bangga menghasilkan pribadi saya yang baru. Yang jauh lebih kuat. Bahkan di jam tiga dini hari, ketika kantuk belum datang, ketika kopi telah tersisa ampas, ketika lembar demi lembar telah penuh coretan, ketika rindu rumah seketika datang tiba-tiba, saya masih bisa menghapus air mata dan pelan berkata dalam hati bahwa saya kuat.

Bahwa satu-satunya yang bisa membangkitkan saya dari segala perasaan lelah hanyalah diri saya sendiri. Terdengar ambisius. Terdengar optimis. Tapi saya sadar, ini juga realistis.

Ketika dunia menjatuhkan saya, membuang saya ke jurang paling dalam dimana tak ada satu pun orang yang bisa mengangkat saya, disitulah kekuatan saya ada.

Mimpi, cita-cita, semua itu memang kehendak manusia. Tapi hidup, tetaplah kehendak Tuhan. Orang jenius sekalipun tidaklah mampu melampaui jika Tuhan memang tidak berkehendak.

Perlahan, saya sadari bahwa satu tahun ini, mengajarkan saya untuk percaya pada kekuatan saya. Kekuatan dari kegagalan dan patah hati saya.

Semoga, kekuatan itu masih akan terus berkembang. Saya pernah gagal memang, tapi saya juga siap untuk bangkit. Untuk mendaki lagi dan lagi.

Semoga tulisan ini, suatu hari akan mengingatkan saya untuk lebih mencintai diri saya, untuk percaya pada kekuatan besar yang ada didalamnya.

Dan untukmu, juga.

Comments

Popular Posts